Sejarah Pendidikan Islam
Sejarah pendidikan Islam di
Indonesia telah dimulai pada awal abad XX M hingga dewasa ini merupakan
perjalanan yang cukup panjang. Dimana perkembangan cukup draktis terjadi pada
masa orde lama dan terus berkembang pada masa orde baru.
Orde Lama
Setelah Indonesia merdeka, pendidikan agama
telah mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun
swasta. Usaha tersebut dimulai dengan memberikan bantuan sebagaimana anjuran
oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tanggal 27 Desember 1945,
disebutkan :
"Madrasah dan pesantren yang pada
hakikatnya adalah satu sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang
telah berurat dan berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaknya
mendapatkan perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material
dari pemerintah"
Pendidikan Agama diatur secara khusus dalam UU
No, 4 Tahun 1950 pada bab XII Pasal 20, yaitu :
Di sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran
agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran
tersebut atau tidak.
Cara penyelenggaraan pendidikan agama di
sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.
Perkembangan pendidikan Islam pada masa orde
lama sangat terkait pula dengan peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri
pada tanggal 3 Januari 1946. Departemen Agama sebagai suatu lembaga pada masa
itu, secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia.
Pendidikan Islam pada masa itu ditangani oleh suatu bagian khusus yang mengurus
masalah pendidikan agama, yaitu Bagian Pendidikan Agama. Tugas dari bagian
tersebut sesuai dengan salah satu nota Islamic education in Indonesia yang
disusun oleh Bagian Pendidikan Departemen Agama pada tanggal 1 September 1956,
yaitu : 1) memberi pengajaran agama di sekolah negeri dan partikulir, 2)
memberi pengetahuan umum di madrasah, dan 3)mengadakan Pendidikan Guru Agama
serta Pendidikan Hakim Islam Negeri.
Berdasarkan keterangan di atas, ada 2 hal yang
penting berkaitan dengan pendidikan Islam pada masa orde lama, yaitu
pengembangan dan pembinaan madrasah dan pendidikan Islam di sekolah umum.
a. Perkembangan dan Pembinaan Madrasah
Perkembangan
madrasah tak lepas dari peran Departemen Agama sebagai lembaga yang secara
politis telah mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh perhatian yang
terus menerus dari kalangan pengambil kebijakan. Walau tak lepas dari usaha
keras yang sudah dirintis oleh sejumlah tokoh agama seperti Ahmad Dahlan,
Hasyim Asy`ari dan Mahmud Yunus. Dengan perkembangan politis dan zaman,
Departemen Agama secara bertahap terus menerus mengembangkan program-program
peningkatan dan perluasan ases serta peningkatan mutu madrasah.
Madrasah sebagai lembaga penyelenggara
pendidikan diakui oleh negara secara formal pada tahun 1950. Undang-undang No.
4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, pada
pasal 10 menyatakan bahwa untuk mendapatkan pengakuan Departemen Agama,
madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling
sedikit 6 jam seminggu secara teratur disamping pelajaran umum.
Dengan persyaratan tersebut, diadakan
pendaftaran madrasah yang memenuhi syarat.
Jenjang pendidikan pada sistem madrasah pada
masa itu terdiri dari tiga jenjang.
1) Pertama Madrasah Ibtidaiyah dengan lama
pendidikan 6 tahun
2) Kedua Madrasah Tsanawiyah Pertama untuk 4
tahun
3) Ketiga Madrasah Tsanawiyah Atas untuk 4
Tahun.
Sedangkan kurikulum madrasah terdiri dari
sepertiga pelajaran agama dan sisanya pelajaran umum. Rumusan kurikulum seperti
itu bertujuan untuk merespon pendapat umum yang menyatakan bahwa madrasah tidak
cukup hanya mengajarkan agama saja, tetapi juga harus mengajarkan pendidikan
umum, kebijakan seperti itu untuk menjawab kesan tidak baik yang melekat kepada
madrasah, yaitu pelajaran umum madrasah tidak akan mencapai tingkat yang sama
bila dibandingkan dengan sekolah umum.
Perkembangan madrasah yang cukup penting pada
masa Orde Lama adalah berdirinya madrasah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan
Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuan pendiriannya untuk mencetak
tenaga-tenaga profesional yang siap mengembangkan madrasah sekaligus ahli
keagamaan yang profesional. PGA pada dasarnya telah ada sejak masa sebelum
kemerdekaan. Khususnya di wilayah Minangkabau, tetapi pendiriannya oleh
Departemen Agama menjadi jaminan strategis bagi kelanjutan madrasah di
Indonesia.
Sejarah perkembangan PGA dan PHIN bermula dari
progam Departemen Agama yang secara tehnis ditangani oleh Bagian Pendidikan.
Pada tahun 1950, bagian itu membuka dua lembaga pendidikan dan madrasah
profesional keguruan:
(1) Sekolah Guru Agama Islam (SGAI)
SGAI terdiri dari dua jenjang:
(a) jenjang jangka panjang yang ditempuh
selama 5 tahun dan diperuntukkan bagi siswa tamatan SR/MI, dan
(b) Jenjang jangka pendek yang ditempuh selama
2 tahun diperuntukkan bagi lulusan SMP/Madrasah Tsanawiyah.
(2) Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI)
SGHAI ditempuh selama 4 tahun diperuntukkan
bagi lulusan SMP/Madrasah Tsanawiyah.
SGHAI memilki empat bagian:
Bagian "a" untuk mencetak guru
kesusastraan
Bagian "b" untuk mencetak guru Ilmu
Alam/Ilmu Pasti
Bagian "c" untuk mencetak guru agama
Bagian "d" untuk mencetak guru
pendidikan agama.
Pada tahun 1951, terjadi perubahan nama
terhadap kedua madrasah keguruan tersebut sesuai dengan Ketetapan Menteri Agama
15 Pebruari 1951. SGAI menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) dan SGHAI menjadi
SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama). Pada tahun 1951 ini, PGA Negeri didirikan di
Tanjung Pinang, Kotaraja, Padang, Banjarmasin, Jakarta, Tanjung Karang, Bandung
dan Pamekasan. Jumlah PGA pada tahun ini sebanyak 25 dan tiga tahun kemudian,
1954, berjumlah 30. sedangkan SGHA pada tahun 1951 didirikan di Aceh, Bukit
Tinggi dan Bandung.
Selanjutnya seiring dengan perubahan
"Bagian Pendidikan" yang berkembang menjadi "Jawatan Pendidikan
Agama" di Departemen Agama. Ketentuan-ketentuan tentang PGA dan SGHA
diubah. PGA yang 5 tahun diubah menjadi 6 tahun, terdiri dari PGA Pertama 4 tahun
dan PGA Atas 2 tahun. PGA jangka pendek dan SGHA dihapuskan. Sebagai pengganti
SGHAI bagian "d" didirikan PHIN ( Pendidikan Hakim Islam Negeri)
dengan waktu belajar 3 tahun dan diperuntukkan bagi lulusan PGA pertama.
b. Perkembangan Perguruan Tinggi Islam
Perguruan Tinggi Islam khusus terdiri dari
fakultas-fakultas keagamaan mulai mendapat perhatian pada tahun 1950. Pada
tanggal 12 Agustus 1950, fakultas agama UII dipisahkan dan diambil alih oleh
pemerintah. Pada tanggal 26 September 1951 secara resmi dibuka perguruan tinggi
baru dengan nama PTAIN ( Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) dibawah
pengawasan Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi
Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini bertujuan sebagai sekolah latihan bagi para
pejabat yang berdinas di penerintahan ( Kementerian Agama) dan untuk pengajaran
agama di sekolah. Pada tahun 1960 PTAIN dan ADIA disatukan menjadi IAIN.
c. Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum
Peraturan resmi pertama tentang pendidikan
agama di sekolah umum, dicantumkan dalam Undang-Undang Pendidikan tahun 1950
No. 4 dan Undang-Undang Pendidikan tahun 1954 No. 20, (tahun 1950 hanya berlaku
untuk Republik Indonesia Serikat di Yogyakarta).
Sebelumnya ada ketetapan bersama Departemen
PKK dan Departemen Agama yang dikeluarkan pada 20 Januari Tahun 1951. Ketetapan
itu menegaskan bahwa :
1. Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV
Sekolah Rakyat selama 2 jam per minggu. Di lingkungan istimewa, pendidikan
agama dapat di mulai dari kelas 1 dan jam pelajarannya boleh ditambah sesuai
kebutuhan, tetapi catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang
dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas
IV.
2. Di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan
Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam
seminggu.
3. Pendidikan agama diberikan kepada
murid-murid sebanyak 10 orang dalam 1 kelas dan mendapat izin dari orang tua
dan walinya.
4. Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan
agama dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Undang-Undang Pendidikan tahun 1954 No. 20
berbunyi :
1. Pada sekolah-sekolah negeri diselenggarakan
pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya mengikuti pelajaran
tersebut atau tidak.
2. Cara menyelenggarakan pengajaran agama di
sekolah-sekolah negeri diatur melalui ketetapan Menteri Pendidikan, Pengajaran
dan Kebudayaan (PPK) bersama dengan Menteri Agama.
Penjelasan pasal ini antara lain menetapkan
bahwa pengajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas para murid.
Pada periode orde Lama ini, berbagai peristiwa
dialami oleh bangsa Indonesia dalam dunia pendiidkan, yaitu :
1. Dari tahun 1945-1950 landasan idiil
pendidikan ialah UUD 1945 dan Falsafah Pancasila.
2. Pada permulaan tahun 1949 dengan
terbentuknya negara Republik Serikat (RIS), di wilayah bagian Timur dianut
suatu sistem pendidikan yang diwarisi dari zaman Belanda.
3. Pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan
terbentuknya kembali negara kesatuan Republik Indonesia, landasan idiil
pendidikan adalah UUDS RI.
4. Pada tahun 1959 Presiden mendekritkan
Republik Indonesia kembali ke UUD 1945 dan menetapkan arah politik Republik
Indonesia menjadi haluan negara.
5. Pada tahun 1945, sesudah G 30 S/PKI kita
kembali lagi melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Pada tahun 1960, sidang MPRS menetapkan bahwa
pendidikan agama diselenggarakan di perguruan tinggi umum dan memberikan
kebebasan kepada mahasiswa untuk mengikuti ataupun tidak. Namun, pada tahun
1967 (periode awal Orde Baru), ketetapan itu diubah dengan mewajibkan mahasiswa
mengikuti mata kuliah agama dan mata kuliah ini termasuk kedalam system
penilaian.
d. Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
Pondok Pesantren sebagai bagian dari sistem
pendidikan Nasional, keberadaan pondok pesantren sebelum Indonesia merdeka
diperhitungkan oleh bangsa-bangsa yang pernah menjajah Indonesia.
Pada masa kolonialisme dari Pondok Pesantren
lahirlah tokoh-tokoh nasional yang tangguh yang menjadi pelopor pergerakan
kemerdekaan Indonesia, seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Zaenal
Mustopa dll. Maka dapat dikatakan bahwa masa itu Pondok Pesantren memberikan
kontribusi yang besar bagi terbentunya republik ini. Bila dianalisis lebih jauh
kenapa dari lembaga pendidikan yang sangat sederhana ini muncul tokoh-tokoh
nasional yang mampu menggerakan rakyat untuk melawan penjajah, jawabannya
karena figur Kiyai sebagai Pimpinan pondok pesantren sangat dihormati dan
disegani, baik oleh komunitas pesantren (santri) maupun masyarakat sekitar
pondok, mereka meyakini bahwa apa yang diucapkan kiyai adalah wahyu Tuhan yang
mengandung nilai-nilai kebenaran hakiki ( Ilahiyyah).
Pada masa pasca kemerdekaan, Pondok Pesantren
perkembangannya mengalami pasang surut dalam mengemban misinya sebagai pencetak
generasi kaum muslimin yang mumpuni dalam bidang Agama (tafaqquh fiddien). Pada
masa priode transisi antara tahun 1950 - 1965 Pondok Pesantren mengalami fase
stagnasi, dimana Kyai yang disimbolkan sebagai figur yang ditokohkan oleh
seluruh elemen masyarakat Islam, terjebak pada percaturan politik praktis, yang
ditandai dengan bermunculannya partai politik bernuasa Islami peserta PEMILU
pertama tahun 1955, contohnya dengan lahirnya Partai Politik NU yang mewaliki warga
Nahdiyyin, Partai Politik NU tersebut dapat dikatakan merepresentasikan dunia
Pondok Pesantren. Hal ini dikarenakan sebagian besar pengurus dari parpol
tersebut adalah Kiyai yang mempunyai Pondok Pesantren.
Orde Baru dan Sekarang
Sejak dibubarkan PKI dengan G30S/PKI pada
tanggal 30 Oktober 1965, bangsa Indonesia telah memasuki masa "Orde
Baru".
Perubahan yang terlihat pada Masa Orde Baru
adalah :
1) sikap mental yang positif untuk
menghentikan dan mengoreksi segala bentuk penyelewengan terhadap pancasila dan
UUD 1945
2) memperjuangkan adanya masyarakat yang adil
dan makmur, baik material dan spiritual melalui pembangunan nasional
3) sikap mental mengabdi kepada kepentingan
rakyat dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Perkembangan pendidikan Islam selanjutnya pada
masa orde baru dimulai dari kebijakan pada pasal 4 TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966
yang memuat kebijakan tentang isi pendidikan. Untuk mencapai dasar dan tujuan
pendidikan, maka isi pendidikan adalah :
1. Mempertinggi mental, moral, budi pekerti
dan memperkuat keyakinan beragama.
2. Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan
3. Membina dan mengembangkan fisik yang kuat
dan sehat.
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar
untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan luar sekolah yang
berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu pendidikan harus dimiliki oleh rakyat
sesuai dengan kemampuan individu masing-masing.
Pada awal pemerintahan orde baru, pendekatan
legal formal dijalankan tidak memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972
dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1972 dan Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah
pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang sebelumnya
dikelola oleh Menteri Agama secara murni.
Perkembangan pendidikan pada orde baru
selanjutnya dikuatkan dengan UU No. 2 Tahun 1989 tentang pendidikan nasional.
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, dan ber budi pekerti luhur, memiliki ketrampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Prinsip-prinsip yang perlu mendapat perhatian
dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, adalah mengusahakan :
1. Membentuk manusia Pancasila sebagai manusia
pembangunan yang tinggi kualitasnya yang mampu mandiri.
2. Pemberian dukungan bagi perkembangan
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional
yang tangguh, yang mengandung terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap
ajaran, paham dan idiologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh dan terpadu.
Semesta berarti terbuka bagi seluruh rakyat, dan berlaku di seluruh wilayah
negara, dan menyeluruh dalam arti mencakup semua jalur, jenjang dan jenis
pendidikan, serta terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara
pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.
Sebagaimana perkembangan orde lama,
perkembangan pada orde baru juga dapat dibagi dalam :
a. Perkembangan dan Pembinaan Madrasah
Penegerian Madrasah Swasta
Pada tahun 1967 terbuka kesempatan untuk
menegerikan madrasah swasta untuk semua tingkatan, Madrasah Ibtidayah Negeri
(MIN), Madrasah Tsanawiyah Islam Negeri (MTsIN) dan Madrasah Aliyah Agama Islam
Negeri (MAAIN). Namun ketentuan itu hanya berlangsung 3 tahun, dan dengan
alasan pembiayaan dan fasilitas yang sangat terbatas, maka keluarnya Keputusan
Menteri Agama No. 213 tahun 1970 tidak ada lagi penegerian bagi madrasah
madrasah swasta. Namun kebijakan tersebut tidak berlangsung lama, memasuki
tahun 2000 kebijakan penegerian dimunculkan kembali.
Kesejajaran Madrasah dan Sekolah Umum
Lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3
Menteri No. 6 tahun 1975 dan No. 037/U/1975 antara Menteri Agama, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri, tentang Peningkatan Mutu
Pendidiikan pada Madrasah. SKB ini muncul dilatar belakangi bahwa setiap
waganegara Indonesia berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pengajaran yang sama,
sehingga lulusan madrasah yang ingin melanjutkan, diperkenankan melanjutkan ke
sekolah-sekolah umum yang setingkat di atasnya. Dan bagi siswa madrasah yang
ingin pindah sekolah dapat pindah ke sekolah umum setingkat. Ketentuan ini berlaku
mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke tingkat perguruan tinggi.
Dalam SKB tersebut disebutkan pula bahwa yang
dimaksud dengan madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata
pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan
sekurang-kuranya 30 % disamping mata pelajaran umum, meliputi Madrasah
Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah setingkat SMP
dan Madrasah Aliyah setingkat SMA.
SKB ini juga menetapkan hal-hal yang
menguatkan posisi madrasah pada lingkungan pendidikan, diantaranya :
1. Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama
dengan ijazah sekolah umum yang setingkat
2. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke
sekolah umum setingkat lebih diatasnya
3. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah
umum yang setingkat
4. Pengelolaan madrasah dan pembinaan mata
pelajaran agama dilakukan Menteri Agama, sedangkan pembinaan dan pengawasan
mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, bersama-sama Menteri Agama serta Menteri Dalam Negeri.
Lahirnya Kurikulum 1984
Pada tahun 1984 dikeluarkan SKB 2 Menteri,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama tentang Pengaturan Pembakuan
Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. Lahirnya SKB tersebut dijiwai
oleh Ketetapan MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya Penyesuaian Sistem
Pendidikan, sejalan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang, antara lain
dengan melakukan perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara pelbagai
upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah.
Sehingga sebagai tindak lanjut SKB 2 Menteri
tersebut lahirlah "Kurikulum 1984" untuk madrasah, yang tertuang
dalam Keputusan Menteri Agama No. 99 tahun 1984 untuk Madrasah Ibtidaiyah, No.
100/1984 untuk Madrasah Tsanawiyah dan No. 101 Tahun 1984 untuk Madrasah
Aliyah.
Diantara rumusan kurikulum 1984 adalah memuat
hal-hal strategies, diantaranya :
1. Program kegiatan kurikulum madrasah (MI,
MTs, dan MA) tahun 1984 dilakukan melalui kegiatan intra kurikuler dan ekstra
kurikuler baik dalam program inti maupun program pilihan.
2. Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan
memperhatikan keserasian antara cara seseorang belajar dan apa yang
dipelajarinya.
3. Penilaian dilakukan secara berkesinambungan
dan menyeluruh untuk keperluan peningkatan proses dan hasil belajar serta
pengelolaan program.
Lahirnya MAPK
Dengan dilatarbelakangi akan kebutuhan tenaga
ahli di bidang agama Islam ("ulama") dimasa mendatang sesuai dengan
tuntutan pembangunan nasional, maka dilakukan usaha peningkatan mutu pendidikan
pada Madrasah Aliyah. Lebih lanjut dibentuklah Madrasah Aliyah Pilihan
Ilmu-Ilmu Agama (MAPK) dengan berdasarkan persyaratan-persyaratan yang
ditentukan. Kekhususan MAPK ini adalah komposisi kurikulum 65 studi agama dan
35 pendidikan dasar umum. Sasarannya adalah penyiapan lulusan yang mampu
menguasai ilmu-ilmu agama yang nantinya menjadi dasar lulusan untuk terus
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi bidang keagamaan dan akhirnya menjadi
calon ulama yang baik. Selanjutnya MAPK berganti nama menjadi Madrasah Aliyah
Keagamaan (MAK). Namun lebih lanjut program ini kurang mendapat perhatian dari
pemerintah sehingga nasibnya sampai hari ini belum jelas keberadaannya.
Lahirnya UU No, 2 Tahun 1989
Lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang diundangkan dan berlaku sejak tanggal 27 Maret 1989,
memberikan perbedaan yang sangat mendasar bagi pendidikan agama. Pendidikan
agama tidak lagi diberlakukan berbeda untuk negeri dan swasta, dan sebagai
konsekuensinya diberlakukan Peraturan Pemerintah sebagai bentuk operasional
undang-undang tersebut, yaitu PP 27/1990 tentang Pendidikan Pra Sekolah, PP
28/1990 tentang Pendidikan Dasar, PP. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, PP.
No. 30/1990 tentang Pedidikan Tinggi (disempurkankan dengan PP.22/1999). Semua
itu mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga umum.
UU dan peraturan pemerintah tersebut telah
memberi dampak positif bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sejak
diberlakukan UU No. 2 Tahun 1989 tesebut lembaga-lembaga pendidikan Islam
menjadi bagian integral (sub-sistem) dari sistem pendidikan nasional. Sehingga
dengan demikian, kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga
pendidikan Islam adalah sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada
lembaga-lembaga pendidikan nasional secara keseluruhan.
UU ini juga telah memuat ketentuan tentang hak
setiap siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya. Namun, SD, SLTP, SMU, SMK dan SLB yang berciri khas berdasarkan
agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari
agama yang menjadi ciri khasnya. Inilah poin pendidikan yang kelak menimbulkan
polemik dan kritik dari sejumlah kalangan, dimana para siswa dikhawatirkan akan
pindah agama (berdasarkan agama Yayasan/Sekolah), karena mengalami pendidikan
agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Kritik itu semakin
kencang, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara
eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah menengah dengan warna agama tertentu
tidak diharuskan memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan agama yang
dianutnya.
UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan
pemerintah tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sebagai UU yang tidak
memberikan ruang dialog keagamaan di kalangan siswa. Ia juga memberikan peran
tidak langsung kepada sekolah untuk mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan agama.
Lahirnya Kurikulum 1994
Pada tahun 1994, kebijakan kurikulum
pendidikan agama juga ditempatkan di seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata
pelajaran wajib sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang pendidikan SD,
terdapat 9 mata pelajaran, termasuk pendidikan agama. Di SMP struktur
kurikulumnya juga sama, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pendidikan
umum. Demikian halnya di tingkatan SMU, dimana pendidikan agama masuk dalam
kelompok program pengajaran umum bersama Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah
Umum. Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Matematika, IPA
(Fisika, Biologi, Kimia), IPS (Ekonomi, Sosiologi, Geografi) dan Pendidikan
Seni.
Dari sudut pendidikan agama, Kurikulum 1994,
hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi jumlah
jam pelajaran dan karakter pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun
sebelumnya. Sampai tahun 1998, pendidikan di Indonesia, masih menggunakan UU
Pendidikan tahun 1989, dan kuriklum 1994. Tumbangnya rezim orde baru
menggulirkan gagasan reformasi sekitar tahun 1998, yang salah satu agendanya
adalah perubahan dan pembaruan dalam bidang pendidikan, sebagaimana yang
menjadi tema kritik para pemerhati pendidikan dan diharapkan oleh banyak pihak.
Lahirnya UU No, 20 Tahun 2003
Selanjutnya pada tahun 2003 ditetapkan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya disebut dengan UU
Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini pasal
yang diperdebatkan adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa pendidikan agama
adalah hak setiap peserta didik. "Setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama," (Pasal 12 ayat a).
Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa
pendidik atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi atau
disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan
satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat 3.
UU ini juga sekaligus "mengubur"
bagian dari UU No. 2/1989 dan Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, tentang tidak
wajibnya sekolah dengan latarbelakang agama tertentu (misalnya Islam)
mengajarkan pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya pelajaran agama
Katolik untuk siswa yang beragama Katolik).
UU Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/Yayasan
Islam untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk siswa yang menganut agama
Katolik.
UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun
2003 ini lah yang menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan
pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37
ayat (1) disebutkan bahwa `kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat
pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu
pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga,
keterampilan/kejuruan dan muatan lokal.`
Dalam penjelasan atas pasal 37 ayat 1 ini
ditegaskan, `pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak
mulia`. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum, juga diatur dalam
undang-undang baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, biaya
pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum dan komponen pendidikan lainnya.
Ketua Majelis Pertimbangan dan Pemberdayaan
Pendidikan Agama dan Keagamaan, (MP3A) Departemen Agama menambahkan,
pelaksanaan pendidikan agama harus memperhatikan lima prinsip dasar, di
antaranya: Pertama, pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada kurikulum
pendidikan agama yang berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik.
Kedua, pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan dan rasa
hormat internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. Ketiga,
pendidikan agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran
agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan
etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara.
Lahirnya KBK
Perjalanan kebijakan pendidikan Indonesia
belum berakhir, pada tahun 2004 pemerintah menetapkan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Kehadiran Kurikulum berbasis kompetensi pada mulanya
menumbuhkan harapan akan memberi keuntungan bagi peserta didik karena dianggap
sebagai penyempurnaan dari metode Cara belajar siswa Aktif (CBSA). Namun dari
sisi mental maupun kapasistas guru tampaknya sangat berat untuk memenuhi
tuntutan ini. Pemerintah juga sangat kewalahan secara konseptual, ketika
pemerintah bersikeras dengan pemberlakukan Ujian Nasional, sehingga KBK segera
diganti dan disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
KTSP masih berlaku sampai sekarang.
Pembinaan dan Pengembangan pendidikan madrasah
dalam rangka peningkatan akses dan mutunya, pada saat ini dikoordinasikan oleh
Direktorat Pendidikan Madrasah pada Ditjen Pendidikan Islam.
b. Pendidikan Agama Islam
PAI pada awal kemerdekaan
Undang-undang pendidikan dari zaman dahulu
sampai sekarang tampaknya masih terdapat dikotomi pendidikan. Dimana bila
dicermati bahwa undang-undang pendidikan nasional masih membeda-bedakan antara
pendidikan umum dan agama, padahal bila digabungkan antara ilmu agama dan ilmu
umum justru akan menciptakan kebersamaan dan juga mampu menciptakan kehidupan
yang harmonis, serasi dan seimbang.
Prioritas pendidikan Islam harus diarahkan
pada empat hal, sebagai berikut :
1. Pendidikan Islam bukanlah hanya untuk
mewariskan faham atau polah keagamaan hasil internalisasi generasi terhadap
anak didik.
2. Pendidikan hendaknya menghindari kebiasaan
mengunakan andai-andaian model yang diidealisir yang sering kali membuat kita
terjebak dalam romantisme yang berlebihan.
3. Bahan-bahan pengajaran agama hendaknya
selalu dapat mengintegrasikan problematik empirik disekitarnya.
4. Perlunya dikembangkan wawasan emansipatoris
dalam proses mengajar agama.
Dilihat dari legalitas hukum penyelenggaraan
PAI pada sekolah umum, mengalami proses yang panjang yaitu sejak masa pasca
kemerdekaan hingga ditetapkan undang-undang no. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam proses mendapatkan legalitas hukum atas pelaksanaan
pendidikan agama sejak kurun kemerdekaan, terjadi tarik menarik antara kelompok
yang pro karena menganggap PAI penting diberikan di Sekolah/Perguruan Tinggi,
dan mereka yang kontra karena mengganggp tidak penting dan cukup diganti dengan
pendidikan budi pekerti.
Semenjak awal kemerdekaan sampai masa orde
baru, pelaksanaan PAI di sekolah selalu masuk dalam agenda pembahasan atau atas
dasar kemauan politik tokoh-tokoh nasional. Hal ini dikarenakan, setiap
keputusan tentang pelaksanaan PAI pada dasarnya merupakan keputusan politik.
Hasil penelusuran dokumen-dokumen penting yang berhubungan dengan pelaksanaan
agama di sekolah umum dari masa pasca kemerdekaan hingga tahun 1990, yaitu :
a. Rapat Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BPKNIP) taggal 27 Desember 1945 antara lain merekomensasikan
agar pendidikan agama mendapat tempat pada kurikulum, yang harus diatur secara
seksama dan mendapat perhatian semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan.
b. Perguruan Agama Islam atau Madrasah dan
Ponpes mendapat perhatian dan bantuan yang nyata berupa tuntunan dan bantuan
material dari pemerintah.
PAI sejak UU No. 2 Tahun 1989 sampai lahirnya
kurikulum 1994
Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum pada
dasarnya telah mendapat respon yang positif, dengan dikeluarkannya
Undang-undang No.2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional (UUSPN), dimana
didalamnya diperkenalkan dua Istilah, yaitu Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan.
Pendidikan Agama adalah pendidikan yang
diselenggarakan di sekolah umum, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Pendidikan Keagamaan adalah lembaga pendidikan
Islam atau satuan pendidikan Islam yang lazim dinamakan dengan perguruan agama.
Pendidikan Keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik
untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus
tentang ajaran agama yang bersangkutan.
Pemerintah menaruh perhatian yang cukup besar
terhadap pelaksanaan pendidikan Agama, sejak jaman pasca Orde Baru.
Karakteristik kurikulum PAI Tahun 1994 antara
lain:
a. Materi atau bahan kajian yang
masing-masinng sesuai dengan tingkat atau jenjang satuan pendidikan
b. Pilihan bahan kajian untuk semua jenjang
pendidikan yang essensial dan sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa
c. Aspek-aspek pemahaman keagamaan kilafh
dihilangkan
d. Materi atau bahan untuk mengembangkan aspek
kognitif, afektif, psikomotorik
e. Pokok bahasan atau kajian PAI
diorientasikan untuk berpadu dengan bidang studi yang lain.
PAI sejak UU No. 20 Tahun 2003
Dengan lahirnya UU No, 20 Tahun 2003 semakin
mempertegas kedudukan pendidikan agama Islam sebagai salah satu elemen
terciptanya tujuan pendidikan nasional secara umum. Sebagaimana pada Pasal 3,
Pendidikan Nasional mencerdasakan kehidupan bangsa bertujuan untuk
berkembangnya potensi pesersta didik agar menjadi manusian yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pasal 12 ayat 1a, setiap peserta didik pada
setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya.
Maka dalam hal ini, Ditjen Pendidikan Islam
berpeluang besar untuk mengembangkan kapasitas kelembagaannya dengan
meningkatkan kualitas sistem dan layanan pendidikan agama Islam dalam rangka
kensukseskan tujuan pendidikan nasional.
Perkembangan pendidikan agama Islam makin
jelas dengan berlakukanya PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, yang menyebutkan :
1. Kurikulum untuk jenis pendidikan umum,
kejuruan dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas :
(1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, (2) kelompok mata pelajaran
kewarganegeraan dan kepribadian, (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
dan teknologi, (4) kelompok mata pelajaran estetika, dan (5) kelompok mata
pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
2. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak
mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C,
SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan.atau
kegiatan agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan
dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan.
Dukungan pemerintah lebih terencana lagi dalam
pengembangan pendidikan agama Islam, terlihat pada Peraturan Presiden No. 7
Tahun 2004, tetang Rencana Pembangunan Jangka Menengah pada bidang Peningkatan
Kualitas Kehidupan Beragama, dan berlangsung sampai sekarang Dalam arah
kebijakannya dinyatakan bahwa sesuai dengan agenda pembangunan nasional,
disebutkan bahwa, peningkatan kualitas pendidikan agama dan pendidikan
keagamaan pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Serta peningkatan
kualitas tenaga kependidikan agama dan keagamaan.
Agar pengembangan pendidikan agama Islam pada
sekolah umum lebih terarah maka sejak tahun 1978 berdirilah Direktorat
Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum, lebih lanjut karena respon pemerintah
dan dunia pendidikan khususnya terhadap pendidikan agama Islam berkurang,
direktorat ini sempat menghilang di tahun 2001 dengan menggabung dengan
Direktorat Pembinaan Perguruan Agama islam (Ditbinruais), menjadi Direktorat
Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum. Namun ternyata
penggabungan ini tidak juga mengangkat pendidikan agama Islam pada sekolah umum
ke arah yang lebih baik, bahkan lebih terpuruk dan terasa dikesampingkan. Oleh
karena itu di tahun 2005 dibentuk direktorat baru yang bersifat khusus kembali
yaitu Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah, dan akhirnya
disempurnakan menjadi Direktorat Pendidikan Agama Islam sampai sekarang
berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010.
Saat ini perkembangan program/kegiatan bagi pendidikan Agama Islam sudah makin
membaik dan terrencana.
c. Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
Perkembangan pendidikan Pondok Pesantren pada
periode Orde Baru, seakan tenggelam eksistensinya karena seiring dengan
kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada kepentingan ummat Islam.
Setitik harapan timbul untuk nasib umat Islam
setelah terjadinya era reformasi, pondok pesantren mulai berbenah diri lagi dan
mendapatkan tempat lagi dikalangan pergaulan nasional. Salah satunya adalah pendidikan
Pondok Pesantren diakui oleh pemerintah menjadi bagian dari sistem pendidikan
nasional yang termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Pondok pesantren tidak lagi dipandang sebagai lembaga pendidikan
tradisional yang illegal, namun pesantren diakui oleh pemerintah sebagai
lembaga pendidikan yang mempunyai kesetaraan dalam hak dan kewajibannya dengan
lembaga pendidikan formal lainnya.
Peluang tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan
secara maksimal oleh seluruh Pondok Pesantren, agar dapat meningkatkan kembali
peranannya dalam sistem pendidikan nasional. Namun yang terjadi peluang
tersebut belum memberikan respon positif kearah peningkatan kualitas
pendidikannya, salah satunya dapat diidentifikasikan bahwa hanya segelintir
kecil saja masyarakat yang ingin menitipkan anaknya untuk dididik dilembaga
pendidikan pondok pesantren, dibanding ke sekolah-sekolah umum. Ketimpangannya
cukup besar, mungkin hanya 10% nya saja anak-anak Indonesia yang mengenyam
pendidikan di pondok pesantren dan selebihnya mereka mengenyam pendidikan
disekolah-sekolah umum.
Pembinaan Pondok Pesantren sebelum tahun 2000
dilakukan oleh salah satu Subdit di lingkungan Direktorat Pembinaan Perguruan
Agama Islam, yaitu Subdit Pondok Pesantren sesuai dengan Keputusan Menteri
Agama Nomor 6 Tahun 1979.
Akhirnya dengan makin pesatnya perkembangan
lembaga pondok pesantren dan pendidikan diniyah serta makin berkembangnya
program dan kegiatan pembinaan bagi Pondok Pesantren dan Pendidikan Diniyah,
subdit tersebut berkembang menjadu direktorat yang bernama Direktorat
Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, sebagai satu dari empat direktorat
yang pada Ditjen Kelembagaan Agama Islam sesuai Keputusan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 2001. Dengan berubahnya organisasi pembinaan menjadi direktorat tersebut,
maka pendidikan di pondok pesantren dan pendidikan diniyah terus makin
berkembang dengan pesat, dan mulai diakui dikalangan dunia pendidikan.
Pada akhirnya seiring dengan berkembangnya
pembinaan dan pengorganisasian Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam yang
berubah menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan
Keagamaan dan Pondok Pesantren berubah pula menjadi Direktorat Pendidikan
Diniyah dan Pondok Pesantren. Perubahan itu berdasarkan Peraturan Menteri Agama
RI Nomor 3 Tahun 2006 sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 63 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 10
Tahun 2005.
d. Perguruan Tinggi Agama Islam
IAIN sebagai salah satu bagian dari PTAI,
merupakan bagian dari salah satu sistem pendidikan Islam yang ada di Indonesia.
IAIN di dirikan pada awal tahun 1960 sebagai suatu respon atas kebutuhan
pemerintah akan tenaga pendidik yang ahli di bidang ilmu-ilmu keislaman, untuk
mengembangkan sistem pendidikan madrasah. Akhirnya dalam perkembangan nya IAIN
jumlahnya semakin bertambah dan berkembang.
Perkembangannya sejak masa orde baru bukan
saja pada aspek fisiknya tetapi juga pada aspek tenaga pendidik atau dosennya,
baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Sejalan dengan kebutuhan masyarakat Islam akan
Ilmu dan pengetahuan serta teknologi peran perguruan tinggi agama Islam semakin
bertambah, oleh karenan itu beberapa tahun ini beberapa IAIN telah berkembang
menjadi universitas Islam. Dimana dalam pelayanannya, selain memberi pendidikan
bidang studi keagamaan juga memberikan pelayanan pendidikan umum.
Saat ini Perguruan Tinggi Agama Islam telah
tersedia 15 IAIN, 6 UIN dan 31 STAIN.
Untuk melakukan Koordinasi Pembinaan dan Peningkatan
Mutu Pendidikan pada Perguruan Agama Islam secara struktural sekarang ditangani
oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam.
SEJARAH ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL
PENDIDIKAN ISLAM
1. Sejak Departemen Agama berdiri tanggal 3
Januari 1946, pendidikan Islam pada masa orde lama yaitu pengembangan dan
pembinaan madrasah dan pendidikan Islam di sekolah umum ditangani oleh suatu
bagia khusus yang mengurus masalah pendidikan agama yaitu Bagian Pendidikan
Agama, yang bertugas :
a. Memberi pengajaran agama di sekolah negeri
dan partikulir
b. Memberi pengetahuan umum di madrasah
c. Mengadakan Pendidikan Guru Agama serta
Pendidikan Hakim Islam Negeri.
2. Tahun 1950 selanjutnya "Bagian
Pendidikan" yang berkembang menjadi "Jawatan Pendidikan Agama" di
Departemen Agama, dengan fokus pekerjaan tetap pada 3 aspek, yaitu memberi
pengajaran pada sekolah negeri, memberi pengetahuian umum di madrasah dan
mengadakan pendidikan guru agama serta pendidikan hakim Islam negeri.
3. Selanjutnya Jawatan Pendidikan Agama
berkembang lebih lanjut dan akhirnya menjadi Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam pada tahun 1968
4. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974
tentang Susunan Organisasi Departemen, yang selanjutnya dilaksanakan dengan
Keputusan Menteri Agama No. 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Agama, terjadi perubahan susunan organisasi kelembagaan di
lingkungan Departemen Agama.
5. Kemudian disempurnakan dengan Keputusan
Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1979 tentang Penyempurnaan Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Agama Sebagai Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun
1978. Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam terdiri dari :
- Sekretariat Direktorat Jenderal
- Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam
pada Sekolah Umum Negeri
- Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama
Islam
- Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam
- Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam.
6. Sesuai Keputusan Presiden RI No. 165 Tahun
2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Departemen jo Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Agama.
Ditjen Kelembagaan Agama Islam terdiri dari :
- Sekretariat Direktorat Jenderal
- Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama
Islam pada Sekolah Umum
- Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok
Pesantren
- Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam
- Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat
dan Pemberdayaan Masjid.
7. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 63 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 10
Tahun 2005, mengubah Direktrorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam menjadi
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.
Dan sebagai tindak lanjutnya ditetapkanlah
Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Agama.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dibagi
menjadi 5 Direktorat, yaitu :
- Sekretaris Direktorat Jenderal
- Direktorat Pendidikan Madrasah
- Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok
Pesantren
- Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
- Direktorat Pendidikan Agama Islam pada
Sekolah
- dan Kelompok Jabatan Fungsional.
8. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47
Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, dan Peraturan
Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dam Fungsi Kementerian
Negara serta Susunan Organiasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara.
Sebagai tindak lanjutnya ditetapkanlah Peraturan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementeri
Agama.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dibagi
menjadi 5 Direktorat, yaitu :
- Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam
- Direktorat Pendidikan Madrasah
- Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok
Pesantren
- Direktorat Pendidikan Agama Islam
- Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
Sumber : http://pendis.kemenag.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar